Senin, 02 Juli 2012
Oleh: Rikeu Indah Mardiani
SETIAP tanggal 27 Juni, bangsa Indonesia memperingatinya sebagai hari keluarga. Keluarga adalah hasil penyatuan dua insan yang memiliki tujuan bersama untuk membentuk sebuah institusi pernikahan. Keluarga, tempat bersemainya generasi suatu bangsa yang kelak akan menerima estafet perjalanan sebuah Negara. Tidak mengherankan jika ada yang menyatakan kehancuran keluarga, akan berpengaruh pada kehancuran masyarakat. Rapuhnya tatanan masyarakat menunjukkan pada rapuhnya institusi-institusi keluarga yang ada di dalamnya.
Sedangkan keluarga yang sukses adalah keluarga idaman yang mampu berkontribusi terhadap perbaikan umat, bangsa dan Negara. Keluarga idaman yang sama-sama kita harapkan untuk terwujud, tentunya adalah keluarga yang diwarnai oleh sakinah, mawaddah dan rohmah. Dari keluarga seperti inilah akan tumbuh benih-benih individu yang sholeh dan bermanfaat untuk sekitarnya.
Islam sendiri, sebagai sebuah sistem yang mengatur seluruh aspek kehidupan, memiliki konsep mengenai keluarga (al-ahwal asy-syakhshiyyah). Di mana keluarga dalam Islam, tidak hanya berfungsi ke dalam keluarga itu sendiri (intern), tapi juga berfungsi keluar (ekstern). Inilah aspek atau fungsi strategis keluarga dalam Islam. Yang kita kenal dengan keluarga ideologis.
Fungsi intern keluarga yang pertama dan utama, adalah menciptakan keharmonisan pasangan yang akan menjadi cikal bakal keluarga ideologis, bahagia dan sejahtera. Berangkat dari tujuan, visi dan misi yang dimiliki oleh pasangan suami istri dalam membina biduk rumah tangga. Dalam Islam, pernikahan dijalani dengan menjadikan Islam sebagai dasar dan pondasi bagi institusi kecil ini. Islam menyatakan bahwa, akad pernikahan merupakan mitsaaqon gholiidzon (ikatan yang kuat). Hal ini mendorong setiap pasangan untuk berupaya menjaga keutuhan rumah tangganya semaksimal mungkin, sebab akad ini disaksikan pula oleh keluarga, karib kerabat bahkan yang utama di hadapan Allah SWT yang kelak akan meminta pertanggungjawaban atas hal ini.
Pernikahan dalam Islam pun, adalah dalam rangka ibadah untuk menggenapkan setengah agama. Di mana, ada ladang-ladang pahala yang tidak tersedia bagi para pemuda pemudi yang masih lajang. Seorang istri yang menyediakan masakan bagi suami dan anak-anaknya, serta mencuci dan mensetrikakan bajunya, akan Allah SWT ganjar dengan surgaNya. Sedangkan bagi seorang suami, ada dosa-dosa yang tidak bisa terhapus, kecuali dengan bersungguh-sungguh dalam mencari nafkah. Sakinah, mawaddah dan rohmah pun menjadi tujuan dan acuan bagi keluarga ini yang akan dicapai bersama.
Fungsi intern yang kedua adalah keluarga sebagai madrosah atau tempat pembelajaran anggota-anggotanya, terutama pendidikan yang dilakukan orangtua kepada putra-putrinya.
Dalam QS. At-Tahrim [66]:6 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [QS. At-Tahrim [66]:6]
Dimaksudkan dari ayat ini, khususnya bagi para orangtua, untuk memberikan pembelajaran dan pendidikan agar anggota keluarga menjadi ulama (orang-orang yang berilmu) dan muttaqien (orang-orang yang bertakwa). Anak-anak tidak hanya pintar secara intelektual, tapi juga menjadi pribadi yang sholeh, penyejuk hati orangtua dan masyarakatnya. Ketakwaan ini sendiri, ditunjukkan dengan semangat seluruh anggota keluarga untuk taat pada ketentuan dari Allah SWT (Syari’at Islam). Anggota keluarga saling mendukung dan mengingatkan dalam kebaikan dan kebenaran. Rasa takut kepada Allah SWT mewarnai kehidupan keluarga ini, yang menghantarkan pada waro’ (kehati-hatian dalam bertindak apakah sesuai dengan ridlo Allah SWT atau tidak).
Keluarga pun memiliki fungsi keluar (fungsi publik dan politis). Hadits yang masyhur di dalam Islam, adalah tentang buruknya seorang Muslim yang kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan. Islam menjaga hak pertetanggaan, agar saling mengirim makanan, saling menjaga hak masing-masing, agar tidak ada yang terdzolimi. Sampai-sampai, tetangga disepertikan saudara kita yang akan mendapatkan hak waris kita. Konsep-konsep seperti inilah yang sejatinya ditanamkan pada keluarga-keluarga Muslim.
Kepedulian terhadap sesama yang senantiasa ditumbuhkan dalam keluarga ideologis, akan membentuk jiwa-jiwa anggota keluarga yang tidak akan diam menyaksikan saudara Muslimnya kelaparan, lemah tak berdaya, tertindas dan terdzolimi. Tidak hanya masyarakat di sekitar rumahnya saja, tapi hingga ke batas-batas Negara lain yang disana ada saudara seaqidahnya. Setiap anggota keluarga akan menjadi individu yang berusaha berkarya dan memberikan manfaat sebanyak mungkin bagi masyarakatnya.
Khilafah
Sebagaimana yang telah kita dapati bersama, gambaran keluarga seperti inilah yang kita dapatkan dalam kehidupan Khilafah Islamiyah (pemerintahan Islam). Pada zaman ini, telah lahir para ulama dan para pemikir besar yang menjadi peletak pondasi peradaban dunia. Yang lahir dari seorang ibu dan ayah, dari keluarga yang sama-sama memiliki cita-cita memajukan agama dan umatnya. Kita mengenal Imam Bukhari, salah seorang dari ahli hadits terbesar sepanjang masa, terlahir dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama dan wara’. Ia lahir dari seorang ayah (Ismail) yang menjadi ulama besar ahli hadits, berilmu dan wara’. Diceritakan, bahwa ketika menjelang wafatnya, ia berkata : “Dalam harta yang kumiliki tidak terdapat sedikitpun uang yang haram maupun yang subhat”. Ibunya sangat tekun dan perhatian dalam mendidik beliau. Hingga, ibunya mengajak beliau dan kakak sulungnya, mengunjungi berbagai kota suci, untuk menemui para tokoh dan ulama, dalam rangka berguru ilmu hadits.
Sedangkan, Ibnu Sina, dalam posisinya sebagai orangtua, tidak menekankan pada kecerdasan intelektual semata. Ibnu Sina melihat tiga hal penting dalam Al Quran, dalam rangka perkembangan anak. Yakni pendidikan moral, pengembangan fisik dan perilakunya. Tiga hal ini akan menjadi bekal bagi sang anak dalam menjalani kehidupannya, demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Keluarga-keluarga ideologis yang tercipta di bawah naungan syariat ini, didukung oleh kuatnya kontrol masyarakat pada saat itu dalam penjagaan tatanan keluarga dan lingkungan agar sesuai dengan Islam. Negara pun memastikan agar roda kehidupan keluarga tidak hanya berjalan tapi juga berprestasi, dengan menjamin lapangan pekerjaan bagi para bapak, membolehkan para istri untuk menuntut ilmu yang tidak melalaikan aktivitas rumah tangganya serta menjamin kesehatan dan pendidikan seluruh anggota keluarga.
Hanya saja, gambaran indah keluarga ideologis ini sedikit demi sedikit hilang dari kaum Muslim, pada saat Khilafah Islamiyyah ditumbangkan tahun 1924, sehingga umat Muslim pun kehilangan payung pemersatu dan penjaganya. Umat Islam dihantam oleh arus liberalisasi yang datang dari barat. Tidak terkecuali keluarga-keluarga Muslim, yang memang menjadi sasaran utama dalam arus liberalisasi keluarga. Gambaran keluarga yang porak poranda pun lebih mewarnai kehidupan kita. Mulai dari pasangan yang tidak setia, anak-anak yang durhaka pada orangtua sampai kekerasan antar anggota keluarga, terjadi di hampir setiap belahan dunia. Timbulnya problem kemiskinan keluarga dan hancurnya nilai-nilai mulia dan pelalaian tugas dan fungsi keluarga yang berdampak pada hancurnya peradaban (masyarakat dan generasi) pun tak terelakkan lagi.
Serangan liberslisasi ini, bermula dari paradigma pendidikan yang sekuler dan semrawut dari segi kurikulum, fasilitas dan metode pengajaran, melahirkan output pendidikan yang brutal dan anti sosial. Hal ini tidak berbanding lurus dengan upaya pendidikan keluarga untuk menciptakan anak-anak yang taat dan berilmu. Penerapan sistem ekonomi kapitalistik pun, menciptakan kehidupan serba materialistis, hedonis, individualis dan konsumtif. Ketinggian aspek ekonomi diagung-agungkan dan menjadi standar kebahagiaan. Mendorong para ibu berduyun-duyun ’dipaksa’ masuk bursa kerja, meninggalkan peran strategisnya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Hal ini dikuatkan dengan penyebaran ide-ide liberal yang dikembangkan di tengah masyarakat. Di mana reinterpretasi dan dekontruksi pemahaman terhadap hukum-hukum Islam, yang dianggap tidak up to date dan tidak sejalan dengan perkembangan zaman, menjadi jalan masuk kaum liberal memasukkan ide-idenya. Seperti ide KG (Kesetaraan Gender), feminisme, Kespro (Kesehatan Reproduksi), KB (Keluarga Berencana) dan emansipasi, yang menjerat kaum Muslim.
Gagasan emansipasi dan gender berupaya menggugat setiap pemahaman agama, adat dan kebiasaan yang bias gender dalam menempatkan laki-laki dan perempuan. Seperti kewenangan laki-laki sebagai pemimpin keluarga dan pencari nafkah, harus diberikan pula kewenangan ini pada para perempuan. Perempuan pun boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali, tidak perlu izin suami ketika keluar rumah dan bebas menentukan nasibnya sendiri. Sedangkan masalah pergaulan dan seks bebas yang melanda remaja, disolusikan dengan konsep kesehatan reproduksi remaja. Dengan konsep seperti ini, remaja ditawarkan solusi agar tidak bergonta-ganti pasangan, memakai kondom dan melakukan ‘seks sehat’, tidak menikah dan melahirkan dini, untuk menghindari penyakit seperti kanker serviks dan kerusakan pada rahim. Sedangkan KB, ditujukan untuk menekan laju penduduk dengan membatasi angka kelahiran menjadi maksimal dua anak, agar para istri tidak direpotkan oleh anak-anak, sehingga tetap produktif beraktifitas di luar rumah dalam menjalani dunia kerja.
Ternyata dengan penegakkan konsep-konsep ini, mendorong kaum perempuan dan para ibu meninggalkan rumah-rumah mereka, menitipkan anak-anaknya dalam asuhan para pembantu rumah tangga, penitipan anak atau para orangtuanya. Dalam keluarga pun tercipta dua kepala rumah tangga. Percekcokan antar pasangan muncul, dipicu kesenjangan penghasilan antara suami dan istri, anak-anak yang broken home dan bermasalah. Para suami mencari wanita idaman lain, para isteri pun berkoar mampu menjadi perempuan kepala keluarga, mandiri tanpa laki-laki. Perceraian tak terelakkan, menjamur dan menyebar. Terkait seks bebas remaja, ‘pintunya tetap dibiarkan terbuka’ dengan dilegalisasinya kondom dan seks sehat, sedangkan pintu pernikahan ditutup sedini mungkin. Negara pun terancam kehilangan generasi yang mumpuni, bertakwa dan berperan dalam kemajuan bangsa dan Negara.
Kondisi ini menggambarkan jungkir baliknya peran dan fungsi keluarga dalam Islam. Keluarga tidak lagi menjadi wujud harmonisnya pasangan suami istri menciptakan rumah bak surga (baytii jannatii). Tidak lagi menjadi madrosah pencetak generasi sholeh. Dan tidak lagi menjadi institusi yang melahirkan cahaya petunjuk dan keberkahan. Jika hal ini terus berlanjut, akan terbayang kehidupan seperti apa yang akan kita dan generasi kita jalani. Rumah tidak lagi menjadi tempat mencurahkan keluh kesah dan menghilangkan penat. Tapi menjadi tempat yang dihindari dan menyesakkan. Rumah tidak lagi menjadi tempat pulang dan mengadukan seluruh beban kehidupan. Tetapi menjadi beban baru yang harus ditanggung. Tingkat stress akhirnya bertambah, tingkat keamanan akibat generasi yang amburadul, semakin memprihatinkan, dan yang terpenting adalah keselamatan ‘aqidah keluarga benar-benar ada dalam ancaman liberalisasi.
Peran dan fungsi keluarga Muslim akan kembali pada treknya, jika kita sama-sama menyadari bahwa ada yang salah dengan visi misi keluarga-keluarga Muslim saat ini. Yang utama adalah pengaturan Negara yang tidak sesuai dengan Islam sehingga menghasilkan kesemrawutan. Negara adalah tempat bernaungnya beribu-ribu keluarga. Di mana semuanya terikat dengan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan, yang sekuler, liberal dan kapitalistik. Disinilah peran kita bersama dalam mengembalikan institusi Khilafah Islamiyah sebagai penjamin diterapkannya hukum-hukum Islam yang akan menaungi seluruh keluarga, baik Muslim maupun non Muslim. Sebab teguhnya keluarga-keluarga yang ada dibutuhkan dukungan dari masyarakat dan Negara, sebagai institusi tertinggi yang memiliki kewenangan yang sangat besar. Dalam hal ini, Khilafah Islamiyah akan mengcounter masuknya ide-ide yang merusak kaum Muslim. Khilafah akan menerapkan sanksi yang tegas bagi berbagai kejahatan yang datang dari rapuhnya suatu keluarga. Seperti pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, tawuran, dsb.
Di bawah syariat Islam, akan meringankan beban orangtua dengan menyediakan pendidikan Islami yang berkualitas, semurah mungkin bahkan hingga gratis. Pelayanan kesehatan yang tidak diskriminatif dan murah akan diberikan kepada seluruh warga Negara. Oleh karenanya, mari seluruh kaum Muslim, khususnya keluarga-keluarga Muslim yang Allah SWT berkahi, untuk menguatkan tekad dan bergandeng bersama mengembalikan tegaknya aturan Islam, sehingga tercapai kebahagiaan hakiki dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan negara.*
Penulis adalah Ibu Rumah Tangga, aktivis MHTI Jawa Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar