Bukannya mengambil sikap yang bermartabat menghadapi penghinaan Israel, Abbas lebih memilih menyembah di ujung kaki Israel
oleh:
KHALID AMAYREH, wartawan di Tepi Barat, Palestina
PEMIMPIN otoritas Palestina, Mahmud Abbas selalu membuat siapa pun terkejut, baik temannya maupun para musuhnya.
Dalam
sebuah wawancara dengan stasiun televisi Israel beberapa pekan lalu,
Abbas mengumumkan bahwa ia tidak berhak tinggal di Safad kampung
halamannya sendiri. Dari Safad ini juga keluarganya dan ribuan warga
Palestina lain diusir pada tahun 1948 di tangan para penyerbu Zionis
dari Eropa Timur. Para penyerbu itu lalu menjajah lebih dari 75%
Palestina, dengan dukungan aktif Inggris dan kekuatan-kekuatan barat.
“Saya
pernah mengunjungi Safad sekali. Saya ingin melihat Safad karena saya
memiliki hak untuk melihatnya tapi bukan untuk tinggal di sana,” ujar
Abbas dalam bahasa Inggris kepada program berita
Channel 2 Israel di Tepi Barat.
Kata Abbas menurut pendapatnya, Palestina hanya mencakup Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur.
“Palestina
bagi saya adalah perbatasan-perbatasan 1967 dengan Yerusalem Timur
sebagai ibukotanya. Itu adalah kondisi sekarang dan selamanya. Itulah
Palestina bagi saya. Saya seorang pengungsi tetapi saat ini tinggal di
Ramallah. Saya percaya kalau Tepi Barat dan Jalur Gaza adalah Palestina
dan bagian lain adalah Israel,” paparnya.
Abbas lebih lanjut
mengatakan, dirinya tidak akan mengizinkan bangkitnya perlawanan
intifadhah baru atau gerakan apa pun yang ditujukan untuk melawan Israel
selama ia masih memimpin rezim di Ramallah.
Sambil menyebut
gerakan perlawanan Palestina terhadap penjajahan militer Israel sebagai
‘teror’, Abbas menegaskan bahwa rakyat Palestina tidak akan memulai
intifadhah baru di bawah kepemimpinannya.
“Kami tidak ingin
menggunakan cara-cara teror. Kami tidak ingin menggunakan kekuatan. Kami
tidak ingin memakai senjata. Kami ingin memakai diplomasi, politik dan
negosiasi dan perlawanan secara damai,” imbuhnya.
Moral RusakNada
bicara Abbas menunjukkan kerusakan moral yang parah, setelah melihat
apa yang disebut proses perdamaian yang terus menuruti ketamakan Israel
yang terus menerus memperluas kekuasaan jahatnya dengan memangsa rakyat
Palestina, kini semua itu hancur berkeping-keping.
Malahan,
Abbas, salah satu perekayasa kutukan bernama Perjanjian Oslo, tak pernah
berhenti menjual mimpi-mimpi kosong kepada rakyat Palestina.
Kita
semua ingat begitu banyak permainannya yang berusaha memperdaya rakyat
–sejak kesepakatan hinanya bersama Yossi Belin (bekas Wakil Menteri Luar
Negeri Israel) sampai pernyataan-pernyataan sandirawa dengan
judul-judul kosong (September entitlement, road map, konferensi
Anapolis, dan lain-lain).
Sekarang pada usia 76 tahun, Abbas
menyadari semua harapannya, apalagi mimpi-mimpinya telah menguap karena
kekeraskepalaan dan kesombongan kekuasaan Israel.
Bagaimanapun,
bukannya mengambil sikap yang bermartabat menghadapi penghinaan Israel,
Abbas lebih memilih menyembah di ujung kaki Israel, seraya berpikir
orang-orang Israel akan berlunak hati, menunjukkan kebesaran jiwa dan
memberikan PLO jatah negara yang besarnya kurang dari 25% dari seluruh
wilayah Palestina.
Menariknya, pernyataan Abbas yang mengejutkan
itu bertepatan dengan peringatan lahirnya deklarasi Balfour tercela yang
mempersembahkan Palestina kepada Zionisme di atas pinggan perak.
Tak
pelak lagi, kebetulan ini menunjukkan bahwa pemimpin PLO itu tak punya
kesadaran sejarah bahkan yang paling rendah sekalipun yang setiap
pemimpin Palestina wajib memilikinya demi mencapai tujuan akhir long
march menuju kemerdekaan Palestina.
Kita tidak ingin membuat
julukan apa pun terhadap pengkhianatan Abbas. Lagipula dia bukanlah
Salahuddin. Dia bahkan bukan Yasser Arafat, yang tidak akan pernah
menyerahkan hak sakral untuk kembali (ke tanah Palestina) meski di bawah
tekanan berat baik dari kawan maupun lawan, yang akhirnya harus dibayar
dengan nyawanya.
Tak perlu diragukan lagi, Abu Mazen (Mahmoud
Abbas) sudah melampaui batas diukur dengan standar moral apapun baik
secara kebangsaan maupun keislaman, yang pada gilirannya menimbulkan
tanda-tanda tanya serius mengenai kemampuan dan kecocokannya untuk tetap
berada di atas tampuk kepemimpinan Otorita Palestina.
Beberapa
minggu lalu, Abbas juga telah mengatakan kepada seorang rabi yang
berkunjung ke Ramallah bahwa Israel didirikan untuk bertahan selamanya;
Pernyataan menjijikkan itu disampaikan dalam bahasa Arab, yang
menunjukkan bahwa Abbas hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak ada
penghormatan sama sekali terhadap puluhan ribu Syuhada Palestina dan
Arab serta korban lainnya yang melawan penjajah dan penindas Zionis.
Dan
sekarang, ia mengatakan para pengungsi tidak punya hak untuk kembali ke
rumah mereka, ke desa-desa mereka di mana mereka diusir dengan todongan
senjata para teroris Zionis. Pernyataan ini setara dengan kemurtadan
tingkat nasional. Abbas tidak memiliki hak mengatakan hal itu. Palestina
bukan perusahaan persemakmuran milik keluarganya yang fungsinya untuk
mengabdi kepada Zionisme. Bahkan, satu-satunya cara untuk menebus
pernyataan nistanya itu adalah pengunduran diri langsung dari kedudukan
sebagai ketua PLO dan Presiden Otorita Palestina. Tapi apa dia punya
keberanian moral ini dan kejujuran untuk mundur?
Abbas
disebut-sebut memiliki gelar Ph.D di bidang ilmu politik. Kalau itu
benar, seharusnya ia menyadari bahwa para pengungsi berhak untuk kembali
ke tempat asalnya, sebagaimana bahkan dirumuskan dalam resolusi PBB no.
194.
Seorang ibu muslimah palestina dan anak-anaknya dilarang
masuk ke dalam rumahnya sendiri yang sudah dipagari kawat berduri oleh
teroris Zionis, 1948. foto: Istimewa
Sungguh, jika pengungsi
Palestina tidak mempunyai hak untuk kembali atau mendapat ganti rugi,
seperti yang disebutkan dalam resolusi PBB 194, maka rakyat Palestina
juga seharusnya tidak berhak meminta ‘Israel’ angkat kaki dari
Palestina, apalagi memiliki negara yang layak di Tepi Barat dan Jalur
Gaza.
Tak diragukan lagi pernyataan Abbas mencerminkan sikap
patah arang, putus asa, dan depresi di hadapan arogansi Israel,
keterlibatan Amerika, kebodohan negara-negara Eropa dan kelemahan
negara-negara Arab-Muslim.
Kita tidak memungkiri bahwa Israel dan
sekutunya saat ini kuat secara militer. Kita akan buta dan jelas bodoh
kalau kita tidak mengakui fakta yang terang benderang ini.
Akan tetapi kenyataan-kenyataan politik dan militer bukan sesuatu yang abadi; semua itu merupakan hal-hal yang bisa berubah.
Almarhum
Syeikh Ahmad Yasin yang dibunuh Nazi-Nazi di zaman kita hampir sepuluh
tahun yang lalu, memahami rumusan sejarah yang penting ini. Beliau
berkata, “Yang kuat tidak selamanya kuat dan yang lemah tidak selamanya
lemah.”
Satu hal lagi. Sungguh memalukan bahwa gerombolan
pemimpin Fatah diam seribu bahasa, dan secara terbuka menolak untuk
mengecam pernyataan pimpinan mereka yang memalukan yang sudah sampai ke
garis pengkhianatan.
Bahkan beberapa pemimpin Fatah, termasuk
Nimr Hammad dan Nabil Abu Rudeina malah berusaha mengalihkan isu ini.
Salah satu pejabat Otorita Palestina menganggap Abbas tak faham apa yang
dikatannya.
Well. Kalau Abbas tak faham apa yang dikatannya,
maka dia harus pensiun tenang-tenang dan berhenti mengakibatkan
kerusakan yang lebih parah bagi kepentingan Palestina.
Lebih dari
itu, diamnya kepemimpinan Fatah yang sangat mengejutkan ini merupakan
bukti lebih jauh bahwa struktur Fatah saat ini jelas-jelas tidak layak
untuk memimpin rakyat Palestina untuk mencapai pantai keselamatan.
Dan
sekarang beberapa patah kata untuk para Zionis arogan, yang sudah
keracunan oleh dominasi dan kedigdayaan militer pemerintah Amerika
Serikat… Kalian disarankan untuk tidak percaya kepada kalimat-kalimat
frustrasi Mahmoud Abbas. Pernyataan-pernyataannya tidak mencerminkan
pandangan mayoritas rakyat Palestina.
Hal ini mudah difahami dari
berbagai reaksi keras yang datang dari seluruh penjuru masyarakat
Palestina, termasuk dari dalam PLO sendiri.
Sebaik-baiknya,
berbagai pernyataannya harus ditafsirkan sebagai pernyataan frustrasi
dan kecemasan dari seorang pemimpin yang mengalami kerusakan moral yang
rupanya sangat berat membedakan antara pragmatisme dan penyerahan diri.*
Diambil dari laman Sahabat al Aqsha
http://m.hidayatullah.com/index.php/Berita/detail/25761